wanita sederhana yang punya cinta sederhana

Sunday, February 27, 2011

WANITA DI UJUNG MALAM oleh Byan Febryan Adiguna

Dia hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri,  ketika kesadaran itu  datang menyelinap.  Mengapa pekerjaan ini aku lakukan?.  Pekerjaaan ini memuakan, pekerjaan ini bergelimang dosa, pekerjaan ini menjijikan, namun karena tak ada pilihan, pekerjaan ini  sepertinya menjanjikan.

Untuk bertahan hidup berulang kali dia mencoba jalan lain, kegagalan senantiasa datang, selalu terhempas  gelombang, kandas, tak bermakna. Harapan kembali ke jalan benar kian menipis, dan kemudian hilang bersama pekatnya malam, bersama rintik hujan, bersama dinginnya malam, bersama ayunan beribu lelaki kesepian.

Dia hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri. Tak kuasa bertanya kepada orang lain. Mengapa?
Rasanya percuma saja, karena  orang lain hanya bisa mencibir, mengejek, menertawakan, memaki, mencemoohkan, menipu, dan banyak juga yang hanya mencumbu.

Dia tak mau bertanya pada Tuhan.
Rasanya percuma saja, karena dia merasa tak dekat dengan Tuhan, tak tahu bagaimana caranya mengkomunikasikan segala derita yang dihadapinya, tak bisa berdo’a, tak tahu cara untuk bertobat, dan tak tahu makna kehidupan yang hakiki.

Dia hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri.
Apakah harus kembali ke kampung halaman. Kembali mengerjakan pekerjaan yang menyebalkan, mengurus anak-anak dan  suami yang pengangguran, mengurus kedua orang tuanya yang telah renta, kembali membanting tulang, bercucur keringat, mengolah sawah sepetak yang hasilnya tak seberapa.
Ah tak mungkin, dia menjawab sendiri. Dia telah lari meninggalkan mereka. Lari bersama lelaki jantan pujaan hatinya yang ternyata hanya menjerumuskannya ke tempat maksiat, dan lelaki itu kemudian pergi entah ke mana.
Kembali dia bertanya pada dirinya sendiri.
Kembali dia menjawabnya sendiri.
Kembali dia bergumam.
Kembali dia diam, kemudian duduk tepekur di pinggir jalan berdebu.
Kembali dia menanti lelaki yang penuh birahi.

Dari hari ke hari, waktu ke waktu rutinitas kehidupan malam tak dapat dipisahkan dari dirinya.
Seperti malam ini. Kembali dia bertanya pada dirinya sendiri.
Mungkinkah dapat bertahan  selamanya dengan usianya yang semakin senja. Sementara di sekitarnya, gadis-gadis cantik muda belia, penuh aura cinta, bergaya bak selebriti, menjadi pesaing  tangguh bagi dirinya. Gadis-gadis cantik muda belia bercanda ria, begitu memikat, begitu menggoda, begitu mempesona para lelaki  yang kemudian membawanya  entah ke mana. Walaupun sebenarnya dia dapat  menduganya.
Malam semakin larut. Angin bertiup menebarkan wewangian yang menyengat. Rasa  dingin makin menusuk, dia beraksi mencoba mencari lelaki agar terpikat.

Para lelaki hanya sekilas menolehnya, tidak seperti dulu ketika dia masih muda, ketika dia sedang berjaya, ketika mulai lari dengan lelaki pujaan hatinya.  Setiap malam selalu berpacu dengan waktu, setiap saat  selalu  dinanti beribu  lelaki. Selalu membuat janji, pesanan kencan tak terbilang, berkeliling dari hotel  ke hotel, selalu hadir di rapat-rapat penting, selalu singgah di setiap seminar, selalu   mampir di restoran-restoran mewah, dia merasa hidup sangat berarti, bagai putri yang selalu dimanja oleh setiap lelaki yang menginginkannya. Waktu itu hidup bergelimang uang, baju mewah  dan perhiasan  yang menyilaukan.

Kembali dia  bertanya pada dirinya sendiri.
Ketika malam ini, setiap lelaki hanya lewat tak terpikat. Akan beginikah selamanya? Sementara dari pagi dia  belum makan, perasaan   pedih menusuk-nusuk lambungnya, lapar dan haus terasa makin tak keruan. Dia teringat hanya  sepotong roti basi yang dimakannya dan minum  segelas air dingin pemberian temannya yang juga sama-sama seperti dirinya. Usianya semakin senja.
Kembali dia menyapa lelaki muda, yang kemudian lari ketakutan.
Kembali dia menyapa lelaki tua bermobil, yang kemudian pergi sambil menutupkan kaca pintu mobilnya.
Kembali dia tertawa (yang sebenarnya seperti menyeriangai), ketika ada lelaki berpeci, yang kemudian memandang aneh tak tahu maksudnya. Lelaki itu kemudian pergi meninggalkan dia yang semakin kebingungan.

Kembali dia duduk di pinggir jalan berdebu.
Dia mulai putus asa, kemudian perasaan sakit menusuk-nusuk di sekujur tubuhnya. Kembali dia merasakan pusing yang kian mendera. Ketika para preman  jalanan mengganggunya, terlihat bagai hantu-hantu menakutkan walaupun sebenarnya dia sering berkencan dengan mereka mengisi waktu sepi.

Dia menggelepar , dia merintih, dia menangis lirih, dia mengerang kesakitan, dia sudah tak tahan, dunia terasa berputar, berputar, berputar dan terus berputar. Di ujung malam  wanita itu tumbang tak sadarkan diri.

Dia tak mampu bertanya pada dirinya sendiri. Dan dia tidak bisa menjawabnya. Dia tergolek di pinggir jalan berdebu.  Dia tidak mempunyai arti hidup yang hakiki.  Dia mati tak berarti.

Hujan gerimis
di pagi hari
meringis
merintih
menangis lirih
menunda  Janji
hijaukan pinus tua
yang kering kerontang
menanti ajal

Hujan gerimis
meringis
hujan gerimis
merintih
hujan gerimis
menangis
lirih
sepi
mati
tak berarti.





Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : WANITA DI UJUNG MALAM oleh Byan Febryan Adiguna

0 komentar:

Post a Comment